YOGYAKARTA – Satomi Ogata, seorang muslimah asal Jepang, menyampaikan pandangan mengenai status kehalalan bumbu masak tradisional Jepang dalam acara Halaqah Status Halal-Haram Bumbu Masak Tradisional Jepang di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Jumat (24/01).
Dalam pemaparannya, Satomi menekankan perlunya edukasi yang berimbang dan fatwa yang adil untuk menjembatani kebutuhan umat Islam dengan budaya lokal Jepang.
Satomi mengungkapkan bahwa lebih dari 30% Muslim asing yang tinggal di Jepang adalah warga negara Indonesia. Sayangnya, terdapat kesalahpahaman yang meluas di kalangan Muslim Indonesia tentang bumbu masak Jepang.
“Sekalipun orang Jepang mengatakan bahwa bumbu mereka halal, jika ada ulama Indonesia memposting bahwa bumbu tersebut tidak halal, umat Muslim Indonesia cenderung lebih mempercayai informasi itu,” ujar Satomi.
Ia memaparkan beberapa kasus yang mencerminkan dampak langsung dari kesalahpahaman ini. Misalnya, beberapa perawat asal Indonesia dilaporkan jatuh sakit akibat hanya mengonsumsi nasi putih dan buah-buahan, sambil sama sekali menghindari masakan Jepang. Ada pula kejadian di mana pemberian makanan tradisional Jepang, seperti senbei yang mengandung shoyu, dibuang karena dianggap tidak halal.
Satomi menjelaskan bahwa masakan Jepang, yang telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO, mengutamakan cita rasa alami dan menyehatkan. Meski tidak banyak menggunakan rempah-rempah, alkohol seperti sake dan mirin kerap digunakan sebagai pengawet alami dan penambah rasa.
Namun, ia menegaskan bahwa penggunaan mirin atau sake untuk masak memiliki sifat berbeda dari sake untuk diminum, di mana alkohol dalam proses masak sebagian besar menguap dan tidak membahayakan.
Ia juga menyoroti beberapa kesalahpahaman lainnya, seperti ketakutan terhadap penggunaan cuka Jepang (rice vinegar) pada sushi. Menurutnya, hal ini menyebabkan para koki kesulitan mempertahankan cita rasa autentik saat mencoba mengganti bahan tersebut dengan cuka halal impor.
Satomi menekankan pentingnya peran fatwa ulama Indonesia dalam konteks global. Fatwa yang hanya memikirkan kondisi dalam negeri akan berdampak besar pada umat yang bekerja atau belajar di negara-negara non-Muslim seperti Jepang. “Kita membutuhkan fatwa yang adil, yang tidak hanya menyelamatkan umat tetapi juga menghormati budaya lokal,” ujarnya penuh harap.
Lebih jauh, Satomi mengingatkan bahwa kesalahpahaman ini dapat merugikan hubungan sosial antara Muslim dan masyarakat Jepang. “Jika Muslim menghindari makanan Jepang, interaksi dengan orang Jepang akan berkurang, dan ini dapat menyebabkan isolasi sosial. Dampaknya, Islam justru semakin jauh dari masyarakat Jepang,” tambahnya.
Di akhir pemaparannya, Satomi meminta kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempertimbangkan penyusunan fatwa terkait bumbu masak tradisional Jepang. Menurutnya, langkah ini akan menyelesaikan banyak kesalahpahaman dan memperdalam saling pengertian antara umat Islam dan masyarakat Jepang.
“Para ulama besar pengaruhnya kepada masyarakat, bahkan seluruh dunia. Maka perlu edukasi yang benar tentang alkohol. Perlu fatwa yang menghargai budaya dan kondisi di Jepang,” ucap Satomi.